Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
Sehabis badai
Larik di atas memiliki isyarat bahwa seorang nelayan yang kalah bukan ikan, melainkan oleh kedahsyatan alam (badai). Dalam puisi ini juga terdapat kata yang jarang digunakan oleh penulis lainnya yaitu ‘gigi’, biasanya seorang penulis mengekspresikan sebuah laut atau pantai menggunakan kata ‘bibir’, ‘pinggir’ ataupun ‘pasir’. Pemilihan kata ‘gigi’ dalam puisi ini, memiliki makna yang sangat dalam dimana gigi dalam analogi mulut, secara metaforis memiliki makna sebuah mulut mahaluas yang bernama laut. Jadi, laut adalah mulut alam yang mahaluas, dan pinggiran pantai sebagai gigi yang tidak menyisakan apa–apa. Dengan begitu, tempuling yang tersadai di gigi pantai memiliki makna sisa muntahan mulut alam yang bernama laut.
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
Sehabis badai
Didalam dua larik awal ini seperti menunjukkan bahwa sebelum ‘sehabis badai’ ada kisah lain yang dahsyat, yaitu seorang nelayan yang berjuang menyelamatkan diri dari keganasan ombak-badai-mulut alam yang bernama laut.
Hatiku memang telah terusik
Ketika sehelai waru
Gugur
Lesap
Lewat tingkap
Tersuruk
Diantara tungku
Menunggu gelap
Makna yang terkandung dalam larik di atas adalah keluarga harus menyiapkan mentalnya untuk peristiwa atau keadaan yang akan terjadi pada nelayan saat menangkap ikan di laut.
: Tuhan
Bawalah seorang menemukan nya
menguburkan nya di antara pantai
memberikan nya satu tanda
dan jangan biarkan arus
membawanya jauh ke lubuk dalam
yang akupun tak tahu
di mana akan kutuliskan
rinduku