“Kalau masih didaftarkan, kami akan menyatakan statusnya tidak memenuhi syarat,” tambah Arief.
Terkait bacaleg eks koruptor, lanjut Arief, KPU berpedoman pada Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan.
Dalam PKPU tersebut, partai politik dilarang untuk mencalonkan mantan koruptor. Selain itu, parpol juga diwajibkan untuk menandatangani fakta integritas.
“Peraturan itu sampai hari ini belum dibatalkan sehingga kami selaku pembuat peraturan KPU yang harus memedomani peraturan KPU itu,” tutur Arief.
Selain itu, KPU juga sudah meminta KPU provinsi dan kabupaten/kota untuk menunda eksekusi putusan Bawaslu tersebut.
Arief mengatakan, hingga saat ini Mahkamah Agung belum memutuskan uji materi atas Peraturan KPU.
“Sepanjang PKPU itu belum diubah, maka PKPU itulah yang harus dijalankan. Jadi kami minta eksekusi terhadap putusan Bawaslu itu harus ditunda sampai kalau nanti PKPU-nya nanti yang di-judicial review itu dinyatakan sesuai dengan UU atau tidak,” ucapnya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) ikut mengkritik keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di beberapa daerah yang meloloskan mantan koruptor sebagai bakal calon legislatif (bacaleg) 2019.
Bawaslu meloloskan mereka berpedoman pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, bukannya pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang eks koruptor maju sebagai caleg.
Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menyebut, Bawaslu semena-semena dengan mengingkari keabsahan hukum.