“Meriam buluh ini dulu adalah permainan budak-budak melayu saat menunggu beduk magrib. Jadi saya teringat masa kecil itu dan hari ini saya meletupkannya, bermain bersama mereka,” ujar Ketua KNPI Kabupaten Lingga ini.
Safar, demikian sapaan akrabnya larut memainkan tradisi yang sudah hampir punah itu. Dengan posisi jongkok dia membunyikan meriam itu berkali kali.
Dia bersyukur, sejak menjadi camat di Katang Bidare, meriam buluh masih bisa disaksikan ditengah suasana bahagia masyarakat dibulan Ramadhan.
Untuk itu dia menuturkan, untuk terus menggali khasanah melayu ini Permainan rakyat semacam itu adalah identitas masyarakat melayu. Bukan tidak mungkin suatu hari nanti akan berubah menjadi kebijakan pelestarian tradisi yang sudah ada sejak zaman kerajaan, misalnya dalam bentuk festival pada momen Ramadhan.
“Ini akan terus kita lestarikan sebagai orang melayu yang tinggal di negeri melayu. Kita punya kewajiban untuk melestarikan tradisi yang hampir punah ini. Saya sangat bangga pada anak-anak disini. Mereka tidak hanya kenal mercun, tapi permainan orang tua-tua dulu mereka mainkan juga,” kata dia.
Uniknya meriam-meriam yang dimainkan itu terbuat dari buluh atau bambu yang diambil didekat hutan pulau Benan. Ada juga meriam yang sama tetapi sudah modern, sebab tidak adanya sumberdaya buluh sehingga dibuat dari kaleng-kaleng bekas. Soal suara dentuman, keduanya hampir sama. Karena bahan letupan sama-sama karbit.
“Kalau dulu pembuat meriam masih mudah untuk dicari. Hari ini mereka kreatif. Alhamdulillah di Desa Benan ini masih terjaga. Semoga permainan ini akan terus dikenal generasi-generasi baru di Kabupaten Lingga,” harap dia.