Hadir dalam pertemuan itu Asisten II Setda Lingga, yang memastikan bahwa aspirasi legislatif sejalan dengan kebijakan eksekutif di tingkat kabupaten.
Selain itu, hadir pula Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yang mewakili kepentingan formal pekerja, perwakilan dari Forum Peduli Masyarakat Singkep Barat, yang membawa suara komunitas lokal yang paling terdampak, dan yang paling penting, perwakilan penambang timah Lingga sendiri, yang menjadi saksi hidup dari ketidakpastian hukum yang mereka hadapi sehari-hari.
Dalam pertemuan tersebut, DPRD Lingga dengan tegas menekankan perlunya langkah konkret dari pemerintah provinsi dan pusat. Mereka menuntut agar proses penetapan WPR segera diselesaikan. Para legislator menilai, tanpa adanya kepastian WPR, masyarakat di Lingga tidak akan pernah bisa memperoleh Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Hal ini menciptakan lingkaran setan: menambang tanpa izin berarti melanggar hukum, tetapi tidak menambang berarti mematikan dapur keluarga.
Terperangkap di Titik Nol: Usulan WPR yang Terabaikan
Inti dari permasalahan ini terletak pada WPR. Pemerintah Kabupaten Lingga dan masyarakat telah berulang kali menyampaikan usulan WPR ke pemerintah pusat, sebuah langkah awal yang wajib dilakukan untuk memetakan area penambangan yang aman dan berkelanjutan.
Namun, hingga detik audiensi ini berlangsung, usulan WPR tersebut belum juga ditetapkan. Akibat langsung dari kelambanan birokrasi ini sangat menyakitkan: masyarakat belum bisa menambang secara legal.